Rabu, 02 September 2015

SEJARAH KEPANDUAN INDONESIA

Masa Pensiagaan Nasional 1908-1928
Pada 1912 berdirilah cabang dari Nederlands Padvinders Organisatie-NPO oleh P.J Smith dan Majoor De Janger di Batavia Centruum (Jakarta) sebagai awal kelahiran Gerakan Kepanduan di Indonesia. Cabang NPO merupakan organisasi kepanduan yg ekslusif yang hanya diperuntukkan bagi remaja dan pemuda bumi putra secara tertentu dan terbatas sesuai Ethische koers dalam politik diskriminasi Belanda.Karena pecahnya perang eropa yang menjadi perang dunia pertama pada tahun 1914, hubungan antara Hindia Belanda dengan Belanda terputus, sehingga oleh kwartir besar NPO di Belanda, NPO Cabang Hindia Belanda diberikan wewenang untuk berdiri sendiri, maka pada 4 September 1914, Cabang NPO Hindia Belanda menjadi organisasi kepanduan baru dengan nama Nederlands Indische Padvinders Vereenigin-NIPV.
Oleh para pejuang bangsa Indonesia, kepanduan/padvinderij dinilai sebagai alat yang sangat ampuh untuk membangkitkan rasa nasionalisme di kalangan remaja dan pemuda bumi putra untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pada 1916 atas prakarsa Sri Paduka Mangkunegara VII Raja Surakarta, maka berdirilah organisasi kepanduan nasional yang pertama di Indonesia dengan nama 'Javaanse Padvinders Organisatie-JPO' disusul dengan berdirinya 'Padvinders Muhammadiyah' di Yogyakarta pada 1918 oleh K.H. Ahcmad Dahlan. Atas usul R.H Hadjid sejak tahun 1920 maka Padvinders Muhammadiyah berganti nama menjadi 'Hizbul Wathon atau HW'.
Kemudian berdiri juga 'Wira Tamtama' sebagai organisasi kepanduan dibawah Syarekat Islam dengan A.Zarkasi sebagai ketuanya. Syarekat Rakyat/SI Merah yg berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia turut mendirikan organisasi kepanduannya sendiri dengan Sujar sebagai pimpinannya.
Budi Oetomo sebagai organisasi kebangsaan pertama, akhirnya turut mendirikan 'Nationale Padvinderij' dibawah pimpinan Daslam Adi Warsito pada tahun 1921.
Jong Java cabang Mataram-Yogyakarta, pada tahun yang sama, turut mendirikan pasukan pavdinder dengan nama 'Jong Java Padvinderij'. Bendera pasukan dan hasdoek/setangan leher JJP adalah merah putih. Berdirinya pasukan JJP cabang Mataram ini, menularkan semangat pada cabang JJP lainnya, sehingga pada kongres Jong Java V di Solo tahun 1922, Padvinderij dimasukkan kedalam sebagai bagian dari gerakan Jong Java, kemudian oleh pengurus JJ, Jong Java Padvinderij dibuka secara luas dan di re-organisier menjadi 'Pandu Kebangsaan-PK' dengan pasukan pandu putra dan pasukan penuntun (Voortrekkers troep) sebagai inti.
PK terus berbenah diri dan membentuk pasukan pandu putri (groene troep) pada 5 Februari 1923.
Pada awal tahun 1923 Jong Java cabang Bandung membentuk suatu panitia untuk mendirikan Padvinderij, akan tetapi panitia tersebut pada akhirnya berbeda pendapat, karena ada sebagian yg berkeinginan untuk bergabung pada NIPV sedang sebagian lainnya berkeinginan untuk mendirikan dan mempersatukan seluruh organisasi padvinderij kebangsaan dan meminta pengakuan dari World Organisation of Scout Movement di Canada.
Akhirnya JJP pusat di Batavia menyokong opsi membentuk organisasi padvinderij baru untuk mempersatukan seluruh organisasi padvinderij kebangsaan dan dibentuklah 'Nationale Padvinders Organisatie-NPO' dengan Safioedin Soerjodipoetro sebagai pemimpinnya. Karena pindah ke Jember Jawa Timur, pucuk pimpinan NPO diserah terimakan pada Ir Soekarno.
Belum lagi terwujud cita2 untuk mempersatukan seluruh organisasi padvinder di Indonesia, NPO sudah terpecah menjadi dua dan berdirilah 'Jong Indonesisch Padvinders Organisatie-JIPO' tetapi kedua organisasi ini tetap erat bekerja sama untuk mempersatukan seluruh organisasi padvinderij di Indonesia. Dan dalam rangkaian untuk itu, disepakati bahwa NPO dan JIPO dilebur menjadi satu organisasi padvinderij baru yaitu 'Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie-INPO' dipimpin oleh Ir.Soekarno dan Soenarjo.
Akan tetapi sebagian dari anggota JIPO tidak bersedia melebur dalam INPO dan mengganti nama JIPO menjadi 'Pandu Indonesia-PI'.
Sebagaimana disebutkan diatas, Wira Tamtama yang didirikan oleh Syarekat Islam dan terus berkembang secara nasional sejak tahun 1920, resmi mengubah nama organisasinya menjadi 'Serikat Islam Afdeling Padvinderij-SIAP' pada tahun 1926 dan setelah kemerdekaan RI mereka mengganti nama lagi menjadi 'Sarikat Islam Angkatan Pandu' dengan singkatan yang sama 'SIAP'.
Selain itu pada tahun 1926, berdiri juga 'National Islamietishe Padvinderij-NATIPIJ yang merupakan organisasi kepanduan/underbow dari Jong Islamieten Bond (JIB) di pimpin oleh Mr.Kasman Singodimedjo. Kemudian ada juga Kepanduan 'Al Irsyad' di Surabaya dan 'Pandu Pemuda Sumatra' dan kepanduan yang bersifat kedaerahan yang didirikan oleh para pemuda Indonesia asal luar jawa.
Pada 3 April 1926, NIPV dibawah pimpinan G.J Ranneft selaku komisaris besar, mengundang dan memimpin konferensi padvinderij di rumah K.H.A. Dahlan di Yogyakarta yang bertujuan untuk menyatukan seluruh organisasi padvinderij diluar NIPV untuk masuk dalam NIPV. Tetapi karena perbedaan konsepsi yang sangat prinsip dimana para tokoh kepanduan nasional (diluar NIPV) melihat orientasi kepentingan perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia yang tidak dapat diterima dalam NIPV, menolak mentah-mentah usulan penyatuan tersebut. Disamping itu, dalam salahsatu janji pandu NIPV tersebut disebutkan 'menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan dan kerajaan' yang dapat diartikan tunduk pada kerajaan Nederland.
Karena tidak berhasil menyatukan seluruh organisasi padvinderij dalam wadah tunggal, maka NIPV yang merasa memiliki kekuasaan lebih tinggi, melarang penggunaan kata 'Padvinder' dan 'Padvinderijs' bagi kepanduan nasional Indonesia.
Karena larangan tersebut dan untuk menegaskan jatidiri Bangsa Indonesia, maka H. Agus Salim pada kongres SIAP tahun 1928 di Banjarnegara, Banyumas, Jawa Tengah menganjurkan penggunaan istilah 'Pandu' dan 'Kepanduan'.
NIPV pada 1927 melakukan re-organisasi dengan memecah kwartir besarnya menjadi Kwartir Besar organisasi padvinerijs putra-Padvinders Bond bertempat di Dago Jawa Barat dan Kwartir Besar organisasi padvinders putri-Meisjes Gilde berkedudukan di Malang Jawa Timur.
Sebagian kepanduan nasional yang berkeinginan untuk mempelajari teknik2 kepanduan tetap berlindung di NIPV. mereka antara lain adalah : Pandu Kesultanan, Pandu Indonesia, Islamitische Padvinders Organisatie disampin berdirinya Katholieke Padvinders Bond, Christelijke Padvinders Vereeniging dan Persatuan Kepanduan Tonghwa sebagai kebijaksanaan dari NIPV yg mmembuka kesempatan utk golongan tertentu dan agama mendirikan pasukan padvinders-nya.
Didorong rasa persatuan, para pimpinan Pandu Kebangsaan (JJP), INPO, NATIPIJ dan SIAP mengadakan pertemuan pada 23 Mei 1928 di Batavia dan membentuk badan federasi yang bernama 'Persaudaraan Antara Pandu-Pandu Indonesia' yang disingkat PAPI.
Puncak perjuangan dari organisasi kepanduan nasional adalah Kongres Pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di gedung Indonesisch Clubgebouw yang menghasilkan keputusan yang lebih dikenal dengan 'sumpah pemuda'
Masa Penggalangan Kemerdekaan
Tahun 1928 - 1943
Semangat para pandu semakin memuncak, mana kala kepanduan masuk sebagai bagian dari proses pendidikan menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan sebagaimana keputusan dari Kongres Pemuda II atau yang dikenal sebagai 'Sumpah pemuda'.
Tanggal 15 September 1929 atau Setahun setelah badan federasi 'Persaudaraan Antara Pandu-pandu Indonesia-PAPI' terbentuk, PAPI mengadakan pertemuan bertempat di Batavia, Pandu Kebangsaan-PK mengusulkan dilakukannya fusi/peleburan seluruh organisasi kepanduan Indonesia menjadi satu, akan tetapi usul tersebut tidak mendapatkan kata sepakat dari organisasi kepanduan yang berbeda asas, maka untuk menjaga rasa persaudaraan maka dibentuklah 2 panitia untuk mempelajari dan merencanakan proses fusi organisasi kepanduan yang berasas kebangsaan dan organisasi kepanduan yang mengutamakan asas keagamaan.
Sementara proses kerja dari kedua panitia tersebut berjalan, Pandu Kebangsaan-PK, Pandu Pemuda Sumatra-PPS, Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie-INPO membuat terobosan dan melebur diri dalam satu wadah kepanduan baru yaitu 'Kepanduan Bangsa Indonesia-KBI' pada 13 September 1930. KBI berasaskan kebangsaan, tidak berafiliasi pada partai politik dan tidak melakukan kegiatan politik praktis namun KBI tidak menghilangkan hak politik anggotanya yang berusia 18 tahun keatas.
W.R. Supratman mempersembahkan lagu KBI pada Kepanduan Bangsa Indonesia pada bulan yang sama.
KBI bergerak cepat dengan kekuatan 57 cabang yang tersebar di jawa, madura dan sumatera, mengadakan kongres sekaligus Jambore Nasional pertamanya di Ambarwinangun Yogyakarta pada akhir Desember 1930, menjelang berakhirnya kegiatan tersebut Gunung Merapi yang terletak di Muntilan DIY meletus, maka seluruh pasukan pandu KBI bergerak untuk membantu dan mengurangi penderitaan korban bencana tersebut.
Selanjutnya pada Juni 1931 bertempat di Purworejo, KBI menyelenggarakan pertemuan pemimpin-I dimana hasil penting dari pertemuan tersebut adalah peletakan dasar dari KBI yang meliputi,
penetapan warna Merah Putih sebagai warna setangan leher/hasdoek dan bendera sesuai asasnya, yaitu kebangsaan.
Mengesahkan lagu 'KBI' ciptaan W.R. Supratman sebagai lagu resmi KBI.
Pada tanggal 19-21 Juni 1932, KBI menyelenggarakan Jambore Nasional kedua diikuti oleh 69 cabang bertempat di Malang di pimpin oleh Komisaris Besar Umum-nya (Ketua Kwartir Nasional) dr.Moewardi. disamping jambore, dilaksanakan juga pertemuan para pemimpin untuk memantapkan langkah konsolidasi baik ke dalam maupun ke luar.
Pada tanggal 20-24 Juni 1933 KBI menyelenggarakan Jambore Nasional ketiga bertempat di Solo, kegiatan tersebut sekaligus dirangkaikan dengan pertemuan para pemimpinnya yg mengambil keputusan antara lain, pencetakan AD/ART KBI, pembentukan Kwartir Daerah dan pemindahan kedudukan Kwartir Besar KBI ke Bandung.
Pada persami tahun 1935 di Pasar minggu Jakarta, tercetuslah ide untuk mengadakan All Indonesia Jamboree, jambore bagi seluruh organisasi kepanduan yang bukan anggota NIPV atau yang tidak berlindung di bawah panji-panji NIPV.
Disamping KBI, sejak periode 1928-135, banyak lagi organisasi kepanduan lain yang berdiri, diantaranya :
Pandu Indonesia-PI di Bandung, Padvinders Organisatie Pasundan-POP di Bandung, Pandu Kesultanan di Yogyakarta, Sinar Pandu Kita di Solo dan Kepanduan Rakyat Indonesia-KRI di Malang. Organisasi kepanduan tersebut mengusung asas kebangsaan.
Pandu Ansor-NU di Surabaya, Al Wathoni, Hizbul Islam dan Kepanduan Islam Indonesia (KII) di Solo, Islamitische Padvinders Organisatie-IPO di Batavia. Organisasi kepanduan tersebut mengusung asas Islam.
Tri Darma, Kepanduan Azas Katholik-KAKI di Yogyakarta, Kepanduan Masehi Indonesia-KMI di Batavia. Organisasi kepanduan tersebut mengusung asas Kristen maupun Katholik.
Dalam rangka kunjungan ke beberapa negara sepulang dari Jambore di Australia, BP dan Lady BP singgah di Tanjung Priok Batavia pada 3 Desember 1934, seluruh organisasi kepanduan nasional berkeinginan untuk menyambut kedatangan kedua tokoh penting tersebut akan tetapi dilarang oleh NIPV, hal mana yang menambah tinggi ketegangan hubungan antara NIPV dan organisasi2 kepanduan Nasional.
Melanjutkan cita-cita yang tercetus pada persami tahun 1935, KBI melalui PAPI kembali mengusulkan untuk mengadakan All Indonesia Jamboree pada pertemuan PAPI di bulan April 1938 di Solo. Usulan tersebut mendapatkan tanggapan positif dari para pimpinan kepanduan yang tergabung dalam PAPI.
Untuk mewujudkan kegiatan All Indonesia Jamboree, maka diputuskan dalam rapat tersebut sebuah organisasi penyelenggara yang bernama 'Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia-BPPKI'.
Dalam konferensi BPPKI di Bandung pada tahun 1939, diputuskan mengubah nama 'All Indonesia Jamboree' menjadi 'Perkemahan Kepandoean Indonesia Oemoem-PERKINO' dan akan diselenggarakan di Solo pada bulan Juli 1941.
Tanggal 11 Februari 1941 BPPKI menetapkan PERKINO I diselenggarakan pada 19-23 Juli 1941 bertempat di Yogyakarta dan BPPKI Cabang Mataram serta Badan Persaudaraan Kepanduan Mataram ditunjuk sebagai pelaksana.
Sri Sultan HB IX yang juga merupakan seorang pandu, berkesempatan hadir pada kegiatan tersebut.
Pada awal Maret 1942 saat Bala tentara Dai Nippon menaklukkan Hindia Belanda dan membubarkan seluruh organisasi kepanduan dan para pemuda di masukkan kedalam Seinendan, PETA, Heioho dan lainnya. Akan tetapi pada 6 Februari 1943, pandu-pandu dari berbagai organisasi kepanduan yang telah dibubarkan berhasil menyelenggarakan PERKINO kedua di Jakarta untuk menunjukkan betapa besar arti kepanduan bagi masyarakat
Masa Penegakan Kemerdekaan Tahun 1945-1961
Periode 1945-1949
Setelah proklamasi kemerdekaan di cetuskan pada 17 Agustus 1945, dalam kancah revolusi yg maha hebat, semangat pada pimpinan bekas organisasi-organisasi kepanduan bangkit kembali, pada akhir September 1945 di Gedung Balai Mataram Yogyakarta, para pimpinan KBI, HW, SIAP, NATIPIJ, Tri Darma, KAKI dan PK bertemu dan menghasilkan rumusan penting untuk membentuk Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia dan menganjurkan pembentukan satu organisasi kepanduan nasional dan selekas mungkin menyelenggarakan kongres kesatuan kepanduan Indonesia. Dalam pertemuan tersebut hadir juga utusan dari kementerian PP dan K yg membawa amanat dari Ki Hajar Dewantara yg menganjurkan kepada para pimpinan bekas organisasi kepanduan untuk kembali menghidupkan gerakan kepanduan.
Hasilnya, pada 27-29 Desember 1945 kongres kesatuan kepanduan Indonesia diselenggarakan di Surakarta yang dihadiri oleh para pimpinan bekas kepanduan KBI, HW, SIAP, NATIPIJ, JPO, KAKI, Taruna Kembang, Tri Darma, Al Wathoni, Hizbul Islam, Sinar Pandu Kita, Kepanduan Rakyat Indonesia, PK, Pandu Indonesia dan Pandu Pasundan yang semuanya berjumlah sekitar 300 orang.
Pada 28 Desember 1945, dengan janji 'Ikatan di tempa' lahirlah organisasi kepanduan baru yang merupakan fusi dari bekas organisasi-organisasi kepanduan yang bernama 'Pandu Rakyat Indonesia' PRI berdasarkan pada Pancasila.
Pada pelantikan pimpinan kwartir besar Umum sekaligus peresmian Pandu Rakyat Indonesia' dibawah pimpinan dr.Moewardi, para pimpinan pandu dengan sukarela dan ikhlas menyatakan ikrar 'Janji Ikatan Sakti' yang berisikan sbb :
  1. Melebur segenap organisasi kepanduan Indonesia dimasa silam dan menjadikan satu organisasi kepanduan baru yaitu Pandu Rakyat Indonesia.
  2. Tidak akan menghidupkan kembali organisasi kepanduan lama.
  3. Tanggal 28 Desember diakui sebagai 'Hari Pandu Indonesia'
  4. Mengganti setangan leher yang bermacam2 menjadi satu warna, yaitu Hitam.

Pada Akhir Desember 1946 berlangsunglah kongres Pandu Rakyat Indonesia yang pertama di Surakarta, dalam rentang setahun kepengurusan PRI berjalan, hasil yang didapat antara lain,
  1. Pemerintah RI mengakui dan mengesahkan Pandu Rakyat Indonesia dan nantinya setahun kemudian pada 1 Februari 1947 PRI diakui sebagai satu-satunya organisasi kepanduan Indonesia melalui keputusan Menteri PP dan K dgn noor 93/Bag-A.
  2. Membuat AD/ART
  3. Konsolidasi cabang2 di Jawa dan pengaturan hubungan dgn cabang diluar jawa.
  4. Mendaftarkan diri pada WOSM untuk dapat diterima dan diakui sebagai anggota biro kepanduan dunia.

  • Peristiwa penting lainnya adalah Presiden RI menerima usulan menjadi 'Pelindung Pandu Rakyat Indonesia' pada tanggal 25 Maret 1947.
  • Pandu Rakyat Indonesia membentuk Kwartir Besar Pandu Putri pada tanggal 22 Agustus 1947 dibawah pimpinan Ibu Soehariah Soetarman.

Tahun 1947-1949 juga merupakan tahun tersulit dari Pandu Rakyat Indonesia, dimana pada tahun tersebut pecah Agresi militer Belanda I dan II, hubungan pusat dan daerah menjadi sulit, terutama cabang-cabang yang dikuasai NICA/Belanda, Pandu Rakyat Indonesia dibubarkan. Tidak sedikit pula para pandu yang gugur dalam usaha untuk turut dalam perjuangan bersenjata menentang aksi penjajahan dan peristiwa yang paling menyedihan terjadi pada 17 Agustus 1948 saat pandu-pandu sedang berkumpul dan merayakan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang ke 3 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, sepasukan Polisi Militer NICA menyerbu dan menembaki para pandu tersebut walau gencatan senjata sudah disetujui kedua belah pihak.
Salah seorang pandu yang bernama Soeprapto yang sedang mengatur perayaan tersebut tewas ditempat.
Walau dalam suasana perjuangan rakyat semesta, Kwartir Besar putra berhasil
  1. Membentuk kwartir pusat untuk wilayah Sumatra di Bukit Tinggi,
  2. Mengadakan badan penghubung (LO) dibawah pimpinan dr.Moewardi untuk daerah diluar RI
  3. membentuk pos-pos terdepan untuk mengadakan hubungan antara Kwartir Pusat di Yogyakarta dan daerah-daerah yang diduduki Belanda di Jawa Timur dan Jawa Barat.
  4. Meneruskan penyelenggaraan kursus pemimpin diluar daerah pendudukan di Jawa.
Pada pertengahan September 1948, dr.Moewardi diculik oleh FDR/PKI dan sampai saat ini keberadaan beliau tidak pernah diketahui.
Didaerah-daerah pendudukan dimana Pandu Rakyat Indonesia dilarang berdiri, lahirlah organisasi kepanduan baru sebagai penyambung hidup dari Pandu Rakyat Indonesia. antara lain :
Kepanduan Putra Indonesia, Pandu Putri Indonesia, Kepanduan Indonesia Muda di Jawa Timur
Kepanduan Muslimin Indonesia di Sulawesi
Kongres Pandu Rakyat Indonesia yang kedua yang sedianya diselenggarakan pada tahun 1948 akhirnya urung dilaksanakan karena situasi yang kian memanas.
Sebagaimana dengan golongan putra, Kwartir Besar Putri-pun mengalami masa-masa yang sulit dalam upaya mempertahankan roda organisasi akibat revolusi fisik tersebut, selain sulitnya hubungan antara pusat dan daerah serta terberai berai-nya organisasi karena banyak anggota putri yang turut aktif terjun dalam kancah peperangan tersebut, mengakibatkan diambilnya tindakan darurat dengan mendirikan Kwartir Besar Putri darurat pada tanggal 22 Agustus 1949 dengan Komisaris Besar Umum Berkedudukan di Solo dilengkapi dengan komisaris golongan Penyuluh, Golongan Perintis dan Golongan Kurcaci.

Selesai.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar